Renovasi Hidup

RENOVASI - Biaya yang dibutuhkan untuk merenovasi akan jauh lebih besar ketimbang biaya yang digunakan membangun dari awal. Keliatannya akan lebih murah ketika kita menambahkan satu per satu item pekerjaan pada bangunan impian kita. Awalnya mungkin bangunan satu lantai yang sudah cantik lengkap dengan perabotnya.

Selang beberapa waktu, ketika ada rezeki berlebih mulai ditambah beberapa ruangan untuk anak anak di masa depan. Lalu karena kebutuhan lain, beberapa tahun lagi mulai dirancang untuk penambahan lantai dua, dan seterusnya. Yang otomatis akan berpengaruh signifikan terhadap apa yang harus ‘dibayar’ untuk mewujudkannya. Tika, menambah kamar lagi, otomatis halaman cantik tempat biasa berkebun hilang, beberapa dinding diruntukan, kuda-kuda di desain ulang guna mengcover ruang baru yang dihadirkan. Ini berarti biaya, waktu, dan beberapa bagian yang lantas terbuang sebagai harga untuk perubahan yang lebih baik itu. Belum lagi ketika menambah lantai dua. Jauh akan lebih banyak hal yang mesti dibayar.

Begitu juga dalam merenovasi hidup ini kawan. Ketika kita berusaha menjadi lebih baik lagi dan lagi, akan banyak hal hal yang akan kita korbankan sebagai modal tuk pencapaian lebih baik kedepannya. Kadang tak sedikit konstruksi lama hidup kita yang mesti di buang, waktu yang panjang untuk kembali membangun bangunan hidup kita yang lebih baik, dan menyiapkan pondasi yang lebih kokoh untuk elevasi hidup yang lebih tinggi. Jadi jangan menyerah dalam merenovasi hidup kita, meski biayanya tentu lebih besar 🙂

Pelangi yang (tak lagi) dirindukan

titipannya

TIKAMAN – Tak lagi sekedar luka yang ku torehkan. Tak lagi hanya perih yang kuberikan. Namun tikaman, tepat di hati yang di dalamnya engkau jaga segala kepercayaan. Aku sadar, aku bukan lelaki baik yang pantas engkau pertahankan berkali-kali. Setelah engkau putuskan untuk pergi tanpa menoleh ke belakang lagi, langkah ku makin tak jelas dan tak ada arti. Sungguh ! Telah kucoba namun selalu gagal. Entah karena dosa yang mesti ku tanggung atau karena dari awal aku terlalu hina tuk jadi pangeran berkudamu.


Dan, telah engkau beri maaf itu dari bibirmu, tak ada lagi dendam ujarmu. Namun aku sadar sepenuhnya, tak kan pernah kaca yang pecah kan kembali utuh meski diperbaiki oleh maestronya sekalipun. Apalagi hati jauh lebih rapuh dari kaca bukan ? Dan pintu itu tak kan terbuka untuk kedua kalinya, benarkan ?

Namun, karena naifku sampai detik ini harapanku masih kan selalu sama. Aku masih nengharapkan pelangi yang sama yang menaungi langit redup setelah hujan lebat dalam hidupku. Meski langkah ku kini kian tertatih, harapku masih tetap kan sama. Meski kata pasti kian memudar, tapi harapku masih tak kan berubah. Sampai benar-benar ada langit lain yang ingin engkau naungi pelangi… Dariku untuk para lelaki yang salah dalam mengambil langkah…

MOMIJI

fall-wallpaper-1366x768-hd-wallpaper“Hatimu jangan seperti dedaunan di musin gugur”, ucapnya sembari menatap lembar kartu pos dengan latar pemandangan daun-daun maple yang rimbun berjatuhan.
“Maksud mu ?”, tanyaku
“Ya, seperti pohon acer palmatum ini. Daunnya dengan mudah jatuh dan tak kan pernah bisa bersanding di ranting kembali”, ia masih menatapi gambar dedaunan yang memerah kekuning-kuningan.
“Bukankah itu sudah semestinya ? Maksudku, ya itu sudah takdir tanaman yang tumbuh di belahan bumi sub tropis. Lantas hubungan dengan hatiku apa ?”, jawabku penasaran.
“Benar”, ia lalu manatapku. “Tapi tidak dengan hatimu bukan ? Yang aku maksud mengenai keteguhan hatimu”.
“Maksud mu hatiku jangan serapuh dedeunan maple di musim gugur ? Hei, bukankah mereka akan kembali di awal musim semi ? Apa yang salah dengan itu ? Jadi ketika aku terjatuh, akan ada saat aku untuk kembali lagi”, aku sedikit tak terima.
Ia menghela napas, “hmmmm…. apa kamu akan bersedia selalu menunggu musim semi kembali ? Menanti dengan harap ketika melalui musim gugur dan penuh cemas dikala musim dingin ? Dan apa mungkin dedaunan itu benar-benar kembali ?” Ia, kembali menatap kartu pos ditangannya.
“Maksud mu ?”, tanyaku.
“Ya, ini masalah hati. Benar hati jauh lebih absurd daripada dedaunan, ia jauh lebih tak tertebak kapan akan jatuh dan kembali bersemi. Karenanya aku tak meminta hatimu seperti dedaunan tanaman tropis yang menahun tanpa berguguran.”, ia tersenyum.
“Jadi ? Sumpah, aku masih tak paham apa maksud mu”, aku bingung.
“Begini sih, kamu mau jadi daunnya ? Kan aku sudah katakan, kamu jangan jadi dedaunan maple kan. Karena daun itu yang jatuh tak pernah kan bisa kembali ke rantingnya. Kenapa tak jadi pohonnya saja ? Yang kembali menumbuhkan dedaunan memerah itu”, jelasnya.
Aku membuang wajah, “sumpah, aku makin tak mengerti. Kata-kata mu semakin membingungkan. Tadi daun sekarang pohonnya. Ah, aku jadi tanahnya saja kalau begitu”.
“Hihi”, ia tersenyum kecil. “Entah kenapa pikiran ku jadi sedikit kacau”.
Ia menunduk. “Apalagi keberangkatanmu tak lama lagi”.
“Tapi sekarang aku masih disini kan ?”, aku berusaha membuatnya tenang. Seketika ia kembali menatapku sembari mengacungkan jemarinya, “ingat ! Yang pasti hatimu tak boleh berubah. Jatuh boleh, sedih itu biasa, kecewa apalagi, tapi jangan sampai putus asa. Kamu tahu ? Dedaunan yang sudah menyentuh tanah tak kan punya harapan lagi, berbeda dengan pohonnya. Jangan pernah ada yang berubah di hatimu itu”.
“Siap baginda, akan saya lakukan”, aku pun tertawa dan dia tersenyum lembut.
“Oh iya, nanti bawakan aku sesuatu ketika kamu kembali ya”, pintanya.
“Bunga sakura di musim semi ? Bagaimana ?”, tawarku.
Ia menggeleng, “daun-daun momiji saja”.
“Momiji ?”, dahiku berkerut, bingung.
“Maksudku ini”, ia menunjuk ke arah gambar di kartu pos. “Daun-daun maple ini. Tepat ketika awal musim gugur ya”.
“Ah, masim tentang maple… baiklah kalau begitu”, aku mengambil kartu pos di tangannya. “Aku simpan, biar tidak lupa”.
Ia pun berdiri setelah melihat jam tangan di pergelangan tanan kanannya, “sebentar lagi adzan ashar. Ayo, aku duluan ya”, ia pun melangkah pelan menuju tempat berwhudu.
“Hei tunggu aku”, sembari mengejarnya yang sudah duluan berlalu.

Surabaya
7 September 2016