MOMIJI

fall-wallpaper-1366x768-hd-wallpaper“Hatimu jangan seperti dedaunan di musin gugur”, ucapnya sembari menatap lembar kartu pos dengan latar pemandangan daun-daun maple yang rimbun berjatuhan.
“Maksud mu ?”, tanyaku
“Ya, seperti pohon acer palmatum ini. Daunnya dengan mudah jatuh dan tak kan pernah bisa bersanding di ranting kembali”, ia masih menatapi gambar dedaunan yang memerah kekuning-kuningan.
“Bukankah itu sudah semestinya ? Maksudku, ya itu sudah takdir tanaman yang tumbuh di belahan bumi sub tropis. Lantas hubungan dengan hatiku apa ?”, jawabku penasaran.
“Benar”, ia lalu manatapku. “Tapi tidak dengan hatimu bukan ? Yang aku maksud mengenai keteguhan hatimu”.
“Maksud mu hatiku jangan serapuh dedeunan maple di musim gugur ? Hei, bukankah mereka akan kembali di awal musim semi ? Apa yang salah dengan itu ? Jadi ketika aku terjatuh, akan ada saat aku untuk kembali lagi”, aku sedikit tak terima.
Ia menghela napas, “hmmmm…. apa kamu akan bersedia selalu menunggu musim semi kembali ? Menanti dengan harap ketika melalui musim gugur dan penuh cemas dikala musim dingin ? Dan apa mungkin dedaunan itu benar-benar kembali ?” Ia, kembali menatap kartu pos ditangannya.
“Maksud mu ?”, tanyaku.
“Ya, ini masalah hati. Benar hati jauh lebih absurd daripada dedaunan, ia jauh lebih tak tertebak kapan akan jatuh dan kembali bersemi. Karenanya aku tak meminta hatimu seperti dedaunan tanaman tropis yang menahun tanpa berguguran.”, ia tersenyum.
“Jadi ? Sumpah, aku masih tak paham apa maksud mu”, aku bingung.
“Begini sih, kamu mau jadi daunnya ? Kan aku sudah katakan, kamu jangan jadi dedaunan maple kan. Karena daun itu yang jatuh tak pernah kan bisa kembali ke rantingnya. Kenapa tak jadi pohonnya saja ? Yang kembali menumbuhkan dedaunan memerah itu”, jelasnya.
Aku membuang wajah, “sumpah, aku makin tak mengerti. Kata-kata mu semakin membingungkan. Tadi daun sekarang pohonnya. Ah, aku jadi tanahnya saja kalau begitu”.
“Hihi”, ia tersenyum kecil. “Entah kenapa pikiran ku jadi sedikit kacau”.
Ia menunduk. “Apalagi keberangkatanmu tak lama lagi”.
“Tapi sekarang aku masih disini kan ?”, aku berusaha membuatnya tenang. Seketika ia kembali menatapku sembari mengacungkan jemarinya, “ingat ! Yang pasti hatimu tak boleh berubah. Jatuh boleh, sedih itu biasa, kecewa apalagi, tapi jangan sampai putus asa. Kamu tahu ? Dedaunan yang sudah menyentuh tanah tak kan punya harapan lagi, berbeda dengan pohonnya. Jangan pernah ada yang berubah di hatimu itu”.
“Siap baginda, akan saya lakukan”, aku pun tertawa dan dia tersenyum lembut.
“Oh iya, nanti bawakan aku sesuatu ketika kamu kembali ya”, pintanya.
“Bunga sakura di musim semi ? Bagaimana ?”, tawarku.
Ia menggeleng, “daun-daun momiji saja”.
“Momiji ?”, dahiku berkerut, bingung.
“Maksudku ini”, ia menunjuk ke arah gambar di kartu pos. “Daun-daun maple ini. Tepat ketika awal musim gugur ya”.
“Ah, masim tentang maple… baiklah kalau begitu”, aku mengambil kartu pos di tangannya. “Aku simpan, biar tidak lupa”.
Ia pun berdiri setelah melihat jam tangan di pergelangan tanan kanannya, “sebentar lagi adzan ashar. Ayo, aku duluan ya”, ia pun melangkah pelan menuju tempat berwhudu.
“Hei tunggu aku”, sembari mengejarnya yang sudah duluan berlalu.

Surabaya
7 September 2016

 

LIHATLAH BAMBU ITU


Lihatlah bambu itu, beberapa lama aku perhatikan rerumpun pohon bambu di depan rumah. ketika angin berhembus begitu kencang tak ada dari mereka yang turut serta jatuh bersama dedaunannya. tidak dengan batang buat pokat di samping rumah. yang justru rubuh dihembus angin kencang dan hampir menimpa diriku, padahal angin saat itu tak jua bisa disebut badai.

Lihatlah bambu itu, derik suara nya yang mencekam mengalun seirama gerakan lembutnya tak kala diterpa angin. begitu rendah ia menunduk seolah berbisik pada angin, “aku tak kan melawanmu, pun ku tak kan kalah darimu”. dan benar, ia kembali berdiri kokoh kala tiupan angin mereda. kembali mengayun mesra tak kala angin membelainya manja.

Lihatlah bambu itu, ia menatapku nanar yang berdiri di bawahnya. “nak, aku dicipta Tuhan juga untuk jadi pelajaran bagimu”, ia berkata pelan. aku tertegun. benar, selama ini aku bak pelaut yang selalu menantang badai. sesekali mungkin kita juga ikut masuk dan berhimpun bersama pusaran badai itu sendiri. seperti bambu yang tak pernah melawan angin dan tak pula mengalah lemah hingga terpatah. “terima kasih”, bisikku padanya.

Lihatlah bambu itu, ia yang kokoh berdiri di depan rumah sederhana ini. tapi mengajarkan begitu banyak arti.

‪#‎AmpekAngkek‬, Agam ( 25 juli 2015)
menghitung hari kembali melangkah ke tanah rantau

melangkah ke lain dunia

19 september lalu,

sebuah awal dari langkah ku di dunia nyata. ketika status pengangguran ku sirna, di saat itu pulalah tantangan yang menghadang tak lagi sekedar bayang-bayang. dunia yang dulu di nanti-nanti, dunia yang dulu di tunggu-tunggu

dunia kerja adalah dunia keras yang tak kan menyisakan siapa saja yang lemah. lemah pada diri dan juga terhadap rohani. tak jarang akhirat tergadaikan oleh dunia ini. baik langsung maupun tidak, dunia ini akan menguji hingga titik mana keistiqomahan mu bertahan. ini lah pandangan awalku terhadap dunia yang baru dan akan kugeluti kedepannya. tiga hari, tak lebih dari tiga hari aku memulai kisah ku sebagai salah satu karyawan di salah satu perusahaan manufacture and trading di kota Padang. dalam tiga hari ini pula aku benar-benar galau, mengeluh tiap waktu, dan merasa ketakutan yang sangat. takut, kalau-kalau iman harus terjual untuk sesuatu yang nilainya fana. tak jadi soal jika hanya masalah jumlah gaji. namun lebih dari itu. prinsip pun juga di uji disini.

mental, ya sikap mental juga serta di tempa. tiga hari bekerja. aku sudah di cari “orang bagak” sekitar lokasi proyek yang ku awasi buat ditagih masalah pembagian kerja di lokasi proyek. tak main-main, bahkan sampai mencari ke rumah kontrakkan  (wisma tercinta). Alhamdulillah atau malah patut disayangkan aku tak berada di rumah. cuma, untuk anak ingusan yang baru menerjunkan diri di sini, bukan sebuah hal yang cukup aman bagiku. maksudnya, hei ! siapa yang tak panik dan berkeringat dingin dengan tatapan mata yang oleh sungguh, sangat kurang bersahabat. Alhamdulillah Allah masih sedia menemani dan menguatkan aku, hamba-Nya yang benar-benar lemah dan rendah ini. sehingga aku tetap bisa tenang dalam menghadapi mereka. Alahmdulillah

ini, padahal baru awal dari semua jalan yang kutempuh. belum apa-apa aku sudah menyerah. ralat ! bukan menyerah hanya saja posisi yang tak menguntungkan ini nampaknya terus akan berlanjut. Allahu’alam