Pelangi yang (tak lagi) dirindukan

titipannya

TIKAMAN – Tak lagi sekedar luka yang ku torehkan. Tak lagi hanya perih yang kuberikan. Namun tikaman, tepat di hati yang di dalamnya engkau jaga segala kepercayaan. Aku sadar, aku bukan lelaki baik yang pantas engkau pertahankan berkali-kali. Setelah engkau putuskan untuk pergi tanpa menoleh ke belakang lagi, langkah ku makin tak jelas dan tak ada arti. Sungguh ! Telah kucoba namun selalu gagal. Entah karena dosa yang mesti ku tanggung atau karena dari awal aku terlalu hina tuk jadi pangeran berkudamu.


Dan, telah engkau beri maaf itu dari bibirmu, tak ada lagi dendam ujarmu. Namun aku sadar sepenuhnya, tak kan pernah kaca yang pecah kan kembali utuh meski diperbaiki oleh maestronya sekalipun. Apalagi hati jauh lebih rapuh dari kaca bukan ? Dan pintu itu tak kan terbuka untuk kedua kalinya, benarkan ?

Namun, karena naifku sampai detik ini harapanku masih kan selalu sama. Aku masih nengharapkan pelangi yang sama yang menaungi langit redup setelah hujan lebat dalam hidupku. Meski langkah ku kini kian tertatih, harapku masih tetap kan sama. Meski kata pasti kian memudar, tapi harapku masih tak kan berubah. Sampai benar-benar ada langit lain yang ingin engkau naungi pelangi… Dariku untuk para lelaki yang salah dalam mengambil langkah…

MOMIJI

fall-wallpaper-1366x768-hd-wallpaper“Hatimu jangan seperti dedaunan di musin gugur”, ucapnya sembari menatap lembar kartu pos dengan latar pemandangan daun-daun maple yang rimbun berjatuhan.
“Maksud mu ?”, tanyaku
“Ya, seperti pohon acer palmatum ini. Daunnya dengan mudah jatuh dan tak kan pernah bisa bersanding di ranting kembali”, ia masih menatapi gambar dedaunan yang memerah kekuning-kuningan.
“Bukankah itu sudah semestinya ? Maksudku, ya itu sudah takdir tanaman yang tumbuh di belahan bumi sub tropis. Lantas hubungan dengan hatiku apa ?”, jawabku penasaran.
“Benar”, ia lalu manatapku. “Tapi tidak dengan hatimu bukan ? Yang aku maksud mengenai keteguhan hatimu”.
“Maksud mu hatiku jangan serapuh dedeunan maple di musim gugur ? Hei, bukankah mereka akan kembali di awal musim semi ? Apa yang salah dengan itu ? Jadi ketika aku terjatuh, akan ada saat aku untuk kembali lagi”, aku sedikit tak terima.
Ia menghela napas, “hmmmm…. apa kamu akan bersedia selalu menunggu musim semi kembali ? Menanti dengan harap ketika melalui musim gugur dan penuh cemas dikala musim dingin ? Dan apa mungkin dedaunan itu benar-benar kembali ?” Ia, kembali menatap kartu pos ditangannya.
“Maksud mu ?”, tanyaku.
“Ya, ini masalah hati. Benar hati jauh lebih absurd daripada dedaunan, ia jauh lebih tak tertebak kapan akan jatuh dan kembali bersemi. Karenanya aku tak meminta hatimu seperti dedaunan tanaman tropis yang menahun tanpa berguguran.”, ia tersenyum.
“Jadi ? Sumpah, aku masih tak paham apa maksud mu”, aku bingung.
“Begini sih, kamu mau jadi daunnya ? Kan aku sudah katakan, kamu jangan jadi dedaunan maple kan. Karena daun itu yang jatuh tak pernah kan bisa kembali ke rantingnya. Kenapa tak jadi pohonnya saja ? Yang kembali menumbuhkan dedaunan memerah itu”, jelasnya.
Aku membuang wajah, “sumpah, aku makin tak mengerti. Kata-kata mu semakin membingungkan. Tadi daun sekarang pohonnya. Ah, aku jadi tanahnya saja kalau begitu”.
“Hihi”, ia tersenyum kecil. “Entah kenapa pikiran ku jadi sedikit kacau”.
Ia menunduk. “Apalagi keberangkatanmu tak lama lagi”.
“Tapi sekarang aku masih disini kan ?”, aku berusaha membuatnya tenang. Seketika ia kembali menatapku sembari mengacungkan jemarinya, “ingat ! Yang pasti hatimu tak boleh berubah. Jatuh boleh, sedih itu biasa, kecewa apalagi, tapi jangan sampai putus asa. Kamu tahu ? Dedaunan yang sudah menyentuh tanah tak kan punya harapan lagi, berbeda dengan pohonnya. Jangan pernah ada yang berubah di hatimu itu”.
“Siap baginda, akan saya lakukan”, aku pun tertawa dan dia tersenyum lembut.
“Oh iya, nanti bawakan aku sesuatu ketika kamu kembali ya”, pintanya.
“Bunga sakura di musim semi ? Bagaimana ?”, tawarku.
Ia menggeleng, “daun-daun momiji saja”.
“Momiji ?”, dahiku berkerut, bingung.
“Maksudku ini”, ia menunjuk ke arah gambar di kartu pos. “Daun-daun maple ini. Tepat ketika awal musim gugur ya”.
“Ah, masim tentang maple… baiklah kalau begitu”, aku mengambil kartu pos di tangannya. “Aku simpan, biar tidak lupa”.
Ia pun berdiri setelah melihat jam tangan di pergelangan tanan kanannya, “sebentar lagi adzan ashar. Ayo, aku duluan ya”, ia pun melangkah pelan menuju tempat berwhudu.
“Hei tunggu aku”, sembari mengejarnya yang sudah duluan berlalu.

Surabaya
7 September 2016

 

Sekeping Tanggung jawab (Pelajaran dari Lapangan)

13886509_10206913307774393_7811111438911006548_n Tentu bukan perkara mudah bagi banyak anak muda yang telah menginjakkan kaki di umur 20-an ketika harus mulai meninggalkan masa masa penuh drama dalam hidupnya. Masa masa dimana petualangan begitu diagungkan, saat saat pencarian jati diri selalu jadi dalih, dan waktu dimana masalah rasa begitu konyol dalam memainkan perannya. Well, sebagian akan dengan gagah melangkah meninggalkan saat saat itu semua, namun tak sedikit yang terperangkat dalam idealisme yang fana. Ingin tetap bebas mengarungi hidup, selalu berusaha mencari pembenaran bukan kebenaran.
Di titik ini, sa
at usia sudah menunjukkan angka 23, 24, 25, bahkan lebih. Harusnya ada satu hal utama yang jadi prioritas dalam kehidupan ke depannya, tanggung jawab. Tanggung jawab pada Rabb mu, mulai menyadari bahwa Allah Azza Wa Jalla tak butuh kita, justru diri yang membutuhkan Rahmat dari Nya. Tanggung jawab pada diri sendiri, dengan mulai meluruskan langkah dan berbenah, tidak lagi ikut ikutan dalam tindakan tak tahu arah. Tanggung jawab pada keluarga, mulai memikirkan dan bertindak demi perasaan orang tua, adik adik dan semua sanak saudara. Tanggung jawab pada lingkungan, tak lagi apatis terhadap orang sekitar, berani mengambil tugas yang berkaitan dengan hajat orang banyak. Dan tanggung jawab pada cinta, tak lagi mengumbar rasa dengan mudahnya, jika serius mulailah berikhtiar dengan serius juga, mulai memperbaiki diri, menyiapkan materi, dan temui sang wali. Perjuangkan jika itu benar cinta dengan menjadikan pasangan yang sah.

Ketika tanggung jawab telah berani engkau nikmati, maka selangkah demi selangkah kedewasaan itu semakin dekat engkau raih. Aku ? Aku sungguh masih belajar menjemput tanggung jawab ini sobat…